Minggu, 23 Februari 2014

ASPEK HUKUM DALAM SISTEMEKONOMI ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
I.    ASUMSI DASAR HUKUM EKONOMI ISLAM

Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan pengaturan syariah untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material agar memberikan kepuasan kepada manusia sehingga memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah SWT dan masyarakat. Ilmu ekonomi islam merupakan Suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah. Sisitem ekonomi islam merupakan Salah satu aspek dalam sisitem nilai islam bagi seorang muslim.

2.      METODE STUDY EKONOMI ISLAM
Ruang Lingkup Metodologi Studi Ekonomi  Islam
Segi materi didikannya; meliputi pendidikan fisik, akal, agama (akidah dan syari’ah), akhlak, dan sosial kemasyarakatan yang digambarkan oleh Allah dalam al-qur’an dan hadits.
Segi sejarah atau periodenya, meliputi; periode pembinanaan masa nabi Muhammad saw (penurunan wahyu hingga wafat). Periode wafatnya nabi Muhammad hingga perkembangan ilmu-ilmu naqliyah pada masa bani Umayyah, periode kejayaan, kemunduran dan pembaharuan pendidikan islam dan sistem Ekonomi Islam.
Segi kelembagaanya, meliputi; model-model pendidikan seperti kuttab, masjid, masjid khan dan madrasah.
 Segi sistem dan kedudukannya sebagai suatu ilmu, mengandung aspek tujuan, kurikulum, guru, proses pembelajaran, metode pendekatan, manajemen pendidikan
dan seterusnya. Dan sungguh hal-hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Peran dan Tujuan Metodologi Studi Ekonomi  Islam,
Beberapa argumentasi awal untuk membuktikan perkembangan positif perkembangan Islam di suatu kawasan, yaitu:
Pertama. Islam sebagai agama perdamaian. Bentuk pernyataan keesaan kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa harus disertai dengan kemaslahatan persaudaraan umat manusia. Kedua. Islam menjalankan peran dalam menghadapi problematika hidup manusia. Mencakup masalah keagamaan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, budaya. Ajaran Islam tidak sebatas keyakinan un sich kepada Tuhan. Tetapi mencakup semua sistem kehidupan bermasyarakat dengan multidimensinya. Ketiga. Peran sosial Islam dalam menghadapi perbedaan kasta dan strata sosial, termasuk perbedaan gender, warna kulit, suku bangsa, bahasa, dan agama. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan, hanya tingkat ketaqwaan dan prestasi usahanya di dunia yang membedakannya menurut Tuhan. Ajaran Islam harus dibuktikan secara komprehensif sebagai agama yang mengutamakan kesetaraan antar manusia sesuai dengan potensi dan fungsi masing-masing. Bersifat egaliter dalam masyarakat sebagai makhluk dan hamba Allah SWT. Keempat. Peran politik dan hukum Islam menekankan pada keadilan, kebijaksanaan, dan menegaskan supremasi hukum. Setiap pemimpin dalam ajaran Islam harus memberikan ketentraman dan keamanan, serta selalu mengutamakan kepentingan orang banyak. Kelima. Pendidikan Islam memberikan ruang bebas dalam pemenuhan hak-hak manusia dalam mendapatkan pendidikan. Pemerataan pendidikan termasuk misi Islam, malah mempelajari ilmu adalah kewajiban sampai tutup usia. Keenam. Ekonomi Islam memerangi praktek riba yang merugikan dan membuat seseorang terjerat dengan lipatan bunga. Menganjurkan kejujuran demi kebaikan dan keadilan manusia. Menolak praktek kecurangan timbangan, penipuan jual beli, monopoli komoditas ekonomi, dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara.
Kekayaan materi merupakan sarana berbuat baik dan memajukan manusia lain. Persaingan tidak sehat membuat rakyat lemah semakin miskin. Ajaran Islam menganjurkan pemanfaatan optimal harta untuk kebaikan dunia dan akhirat. Bukan malah menjadi budak dari harta.
Mengungkap faktor emosional dalam kerangka rasional, aktual, dan kultural berupa kecintaan pada agama Islam.
Membuktikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan memberikan kebaikan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
Menghilangkan paradigma negatif sebagian masyarakat dunia terhadap agama Islam. Tanggapan negatif terhadap Islam sering kali menyudutkan komunitas Muslim di berbagai negara.

3.      Prilaku Ekonomi Islam
Kegiatan ekonomi adalah bagian dari keberagaman, sehingga pencapaian tujuannya perlu diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan risalah. Sebagai ilmu yang tidak bebas nilai, Ekonomi Islam bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Jika sifat perilaku dan pelaku ekonomi tidak dengan sendirinya mengantarkan pada tujuan, maka persoalannya sekarang adalah bagaimana mewarnai perilaku tersebut sehingga memenuhi kualifikasi yang diharapkan.
Akhlak dalam Produksi
Akhlak dalam bidang produksi dibagi dalam tiga aspek yaitu:
Bahan produksi,
Etika Kerja Produksi
Berasal dari sumber daya  alam ( Surat Ibrahim 14 :32-33, Al Anfal 8 : 2-4, Asy Syura 42: 38, Al Baqarah 2 : 3)
Berasal bahan halal, dilarang mempergadangkan barang yang haram (Al Maidah 5 : 2)
Bahan thayyib, baik dan bermutu
1. Bersungguh-sungguh
2. Amanah
3. Jujur, menyempurnakan timbangan dengan adil (Al An’am 6 : 152)
4. Bersih, suci, sehat
5. Hegienes
6. Tidak terjadi pemborosan
7. Buruh tunaikan kewajiban majikan tunaikan kewajiban (Al Hud 11 : 18)
Prinsip dalam produksi
Dalam memproduksi sektor ekonomi, islam memberiakan kebebasan kepada setiap manusia untuk membuat aturan main sesuai dengan kreativitas, tingkat keilmuan, situasi dan kondisinya. Islam memprioritaskan tujuan kegiatan ekonomi yaitu kemaslahatan bagi manusia dan terhindar dari kemadharatan serta terciptanya efisiensi dalam kehidupan. Apabila sebuah mesin dapat meningkatkan jumlah produksi, menghemat tenaga, mengurangi jam kerja karyawan, mengurangi modal dan mendatangkan banyak hasil, islam menyabutnya dengan baik. Produksi adalah menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam oleh manusia. Islam menganjurkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam secukupnya (Q.S Ibrahim 14: 32-34)
Prinsip-prinsip Islam dalam berproduksi
Rezeki akan didapat dengan bekerja dan berusaha (Al Mulk 67 : 15)
Bekerja adalah ibadah. Islam menganjurkan manusia untuk memproduksi sektor-sektor ekonomi; pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian dan perdagangan.
Tujuan bekerja adalah mencapai tujuan hidup untuk kemaslahatan keluarga dan masyarakat,  memakmurkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah.
Bekerja dengan tekun, islam menganjurkan manusia untuk bekerja secara tekun, tidak asal jadi, tidak sembarangan, supaya kualitas produksinya tinggi. Misal menyembelih hewan dengan pisau yang sebelumnya diasah menjadi tajam.
Akhlak Dalam Konsumsi



Penjelasan dari beberapa ayat :
Memanfaatkan harta untuk kebaikan, menjauhi sifat kikir, menggunakan harta secukupnya (Al Baqarah 2:3, An Nisa 4:39, Al Anfal 8:3-4, Asy Syura 42:38)
Menggunakan harta untuk kemanfataan yang membawa kebaikan, harta wajib dibelanjakan (Qs. 2:3, 4:39, 8:2-4, 42:38)
Sasaran membelanjkan harta : Fi sabilillah, diri dan keluarga, kaum kerabat dan masyarakat.
Larangan Islam dalam membelanjakan harta secara berlebihan.













BAB II
II.1.  TATANAN SISTEM EKONOMI ISLAM
Tatanan Sistem Ekonomi Islam adalah sebuah kerangka dasar dari semua sistem yang tepadu yang mengintegrasikan antara tujuan, konsep, landasan yang diharapkan untuk merealisasikan sistem tersebut sehingga terealisasi. Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun: 15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu. Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25). Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan (equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga pada manusia dalam jangka panjang. Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal.  Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij: 24-25).  Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf. Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak daripada yang mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua lapisan. Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah.  Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.




II.2.  ASAS PENERAPAN HUKUM ISLAM
Asas hukum islam adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan Hukum Islam.
Macam-macam asas hukum islam adalah sebagai berikut :
1. Adam al-Haraj (Meniadakan Kesukaran)  
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada manusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya.
2. Taqlil Al-taklif (Menyedikitkan pembebanan)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini berguna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak
3. Tadarruj fi al-Tasyri’ (Berangsur-angsur dalam pesyariatan)
memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu.



4. Muthobiqun Li Mashalihil Ummah (Sejalan dengan kemashlahatan ummat)
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
5. Tahqiqul ‘Adalah (Menghendaki adanya realisasi keadilan)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam. 
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama: ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah masyarakat.Kedua: sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi perilaku penguasa. Ketiga: negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah negara. Realitas menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).

II.3. Hukum Ekomnomi Islam Dalam Al-Qur’an As-Sunnah dan Kitab – Kitab Fiqih
Indikator lain tentang kepedulian Islam terhadap persoalan ekonomi dan keuangan, ialah kenyataan yang menunjukkan bahwa di dalam al-Qur’an, yang menjadi sumber utama dan pertama hukum Islam, terdapat sejumlah ayat yang mengatur persoalan-persoalan hukum ekonomi dan keuangan (ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah ). Menurut kesimupulan Abdul Wahhab Khallaf, paling sedikit ada 10 ayat hukum dalam al-Qur’an yang berisikan norma-norma dasar hukum ekonomi dan keuangan.
Berbeda dengan Khallaf, yang melihat ayat-ayat ekonomi semata-mata dari aspek hukumnya, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam konteks yang agak luas memprakirakan ayat-ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Qur’an berjumlah 21 ayat yang secara langsung terkait erat dengan soal-soal ekonomi. Berlainan dengan Khallaf yang sama sekali tidak menunjukkan ayat-ayat mana saja yang ia maksud dengan 10 ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah di atas, al-Fanjari secara eksplisit menyebutkan satu demi satu ke-21 ayat ekonomi yang dimaksudkannya, yaitu: al-Baqarah (2): 188, 275 dan 279; An-Nisa (4): 5 dan 32; Hud (11): 61 dan 116; Al-Isra’ (17): 27; An-Nur (24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13; Adz-Dzariyat (51): 19; An-Najm (53): 31; Al-Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7; Al-Jumu`ah (62): 10; Al-Ma`arij (70): 24 dan 25; Al-Ma`un (107): 1-3.
Senafas dengan al-Qur’an, al-Hadits yang menjadi sumber hukum Islam penting kedua setelah al-Qur’an, juga membincang persoalan ekonomi dan keuangan. Di dalam buku-buku hadis yang ada, terutama buku-buku hadis hukum, selalu ditemukan kitab atau bab yang secara khusus membahas persoalan-persoalan ekonomi dan keuangan. Sebagai ilustrasi, perhatikan salah satu kitab hadis hukum yang paling masyhur dan dikenal luas oleh para akademisi di seluruh dunia Islam dan bahkan perguruan-perguruan tinggi non Islam yang mempelajari hukum Islam.
Ada yang memuat 192 hadis hukum tentang ihwal ekonomi dan bisnis yang dikemas ke dalam beberapa bab, selengkapnya adalah sebagai berikut:
Bab as-syuruth al-buyu` wa-ma nuhiya `anhu (bab tentang syarat-syarat jual-beli dan hal-hal yang terlarang dari padanya), atau conditions of business transactions and those which are forbidden (46 hadis);
Bab al-khiyar (bab tentang hak memilih pelaku akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya), atau reconditional bargains (3 hadis);
Bab ar-riba (bab tentang riba), atau usury (18 hadis);
Bab ar-rukhshah fil-`araya wa-bai`il-ushuli watstsimar (kelonggaran tentang berbagai pinjaman dan jual-beli pepohonan dan buah-buahnya), atau licence regarding the sale of `Araya and the sale of trees and fruits (7 hadis);
Bab as-salam wal-qardhi war-rahni (bab tentang jual-beli salam, pinjam-meminjam dan gadai), atau payment in advance, loan and pledge (10 hadis);
Bab at-taflis wa-al-hajr (bab tentang pailit dan penahanan harta seseorang), atau insolvency and seizure (10 hadis);
Bab as-shuluh (bab tentang perdamaian), atau reconciliation (4 buah hadis);
Bab al-hawalah wad-dhaman (bab tentang pemindahan hutang dan tanggungan/jaminan pembayaran hutang), atau transference of a debt to another and surety (4 hadis);
Bab as-syirkah wal-wakalah (bab tentang Persekutuan dan perwakilan), atau partnership and agency (8 hadis);
Bab al-iqrar (bab tentang – pernyataan – pengakuan), confession (1 hadis);
Bab al-`ariyah (bab tentang pinjaman), atau loan (5 hadis);
Bab al-ghashb (bab tentang mengganggu hak orang lain), atau wrongful appropriation (6 hadis);
Bab as-syuf`ah (bab tentang hak pilihan untuk membeli harta yang dimiliki secara bersekutu), atau option to buy neighbouring property (6 hadis);
Bab al-qiradh (bab tentang peminjaman modal kepada orang lain dengan motif bagi untung antara pemilik modal dan yang menggunakan modal), atau giving someone some property to trade with, the profit being shared between the two but any loss falling on the property (2 hadis);
Bab al-masaqah wal-ijarah (bab tentang pemeliharaan kebun dan upah atau gaji), atau tending palm-trees and wages (9-10 hadis);
Bab Ihya’ al-mawat (bab tentang penggarapan/pengelolaan tanah tidak bertuan), atau bringing barren lands into cultivation (5-6 hadis);
Bab al-waqf (bab tentang wakaf), atau mortmain (3 hadis);
Bab al-hibah, wa-al-`umra, wa-ar-ruqba (bab tentang hibah, umra dan penjaga upahan), atau gifts, life-tenancy, and giving property which goes to the survivor (11 hadis);
Bab al-luqathah bab tentang luqatah), atau finds (6 hadis);
Bab al-fara’idh (bab tentang kewarisan), atau shares inheritance (13 hadis);
Bab al-washaya (bab tentang wasiat), atau wills (6-7 hadis);
Bab al-wadi`ah (bab tentang penitipan), atau trust (satu hadis).

Pembahasan ekonomi Islam/Syariah akan semakin terasa meluas dan mendalam tatkala kita membaca literatur-literatur Islam yang lain terutama dalam berbagai kitab fiqih (hukum Islam) yang jumlahnya tidak lagi puluhan apalagi belasan; akan tetapi, telah mencapai ratusan dan bahkan ratusan ribu. Hampir atau bahkan semua kitab fikih — terutama yang bersifat umum dan berukuran tebal apalagi berjilid-jilid — pasti membahas persoalan muamalah khususnya dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Selain kitab-kitab fikih yang membahas berbagai persoalan hukum Islam dalam bentuknya yang bersifat umum dan komprehensif, juga teramat banyak kitab-kitab fikih – klasik maupun kontemporer – yang secara spesifik membahas ihwal ekonomi-bisnis dan keuangan ala Islam secara khusus. Perhatikan misalnya karya Abi Abdul Qasim bin Salam (1408 H/1988 M), Kitab al-Amwal, dan buah pena Ahmad Isa Asyur, al-Fiqh al-Muyassar fil-Mu`amalat. Yang pertama merepresentasikan karya-karya fikih keuangan klasik; sedangkan yang kedua, mewakili kitab-kitab fikih ekonomi kontemporer.
Pendeknya, hukum ekonomi Islam sebagaimana dapat ditelusuri dalam berbagai literatur yang ada dan tersedia, memiliki jangkauan yang sangat luas. Hanya saja, bagaimana cara kita menggali dan mengembangkan norma-norma hukum ekonomi Islam yang terserak-serak di dalam berbagai literatur dimaksud, inilah tantangan yang harus dijawab dan dicarikan solusinya.
II.4. Jangkaun Hukum Ekonomi Islam
Seperti dapat difahami dari sisinya yang manapun, ekonomi dan ilmu ekonomi termasuk ekonomi Islam memiliki jangkauan atau ruang-lingkup yang sangat luas. Ekonomi Syariah, tidak semata-mata berhubungan dengan ihwal bahan baku, produksi, distribusi, pemasaran dan konsumsi seperti yang sering menjadi pembahasan utama ilmu ekonomi, akan tetapi ekonomi juga berhubungan dengan dunia kerja dan dunia usaha. Demikian pula halnya dengan lembaga-lembaga keuangan baik dalam bentuk bank maupun non bank.
Dunia kerja dan dunia usaha kita terutama yang berhubungan dengan sektor riil dewasa ini terkesan sedemikian sempit. Dunia kerja dan usaha seolah-olah identik benar dengan dunia perdagangan (tijarah) dan industri-industri tertentu dengan buruh sebagai andalan utamanya; sementara sektor-sektor yang lain semisal kehutanan, pertanian, kelautan, transportasi dan lain-lain, belum digarap secara memadai apa lagi profesional. Demikian pula dengan dunia keuangan yang seakan-akan identik benar dengan perbankan dan beberapa lembaga keuangan non bank khususnya asuransi. Sementara dalam bidang-bidang yang lain semisal pegadaian, tampak belum tertangani sebagaimana mestinya. Belum lagi mengamati kecenderungan pasar yang terkesan lebih berorientasi ke wilayah-wilayah perkotaan — atau tepatnya kota-kota besar — dengan kurang peduli untuk tidak mengatakan mengabaikan pengembangan pasar yang sejatinya juga mengarah ke daerah-daerah pedesaan. Padahal, di antara prinsip ekonomi dan keuangan yang telah dan hendak terus dibangun oleh Islam/Syariah ialah prinsip keadilan dan pemerataan. Tanpa penerapan kedua prisnip ini, keadilan yang merata dan atau pemerataan yang berkeadilan, sistem ekonomi Islam tidak akan ada bedanya dengan sistem-sistem ekonomi yang lain.
Dalam itu, upaya memperluas konsep dan wawasan ekonomi Islam/Syariah sebagaimana disinggung di atas, pada gilirannya menuntut pula pengembangan konsep hukum Islam tentang ekonomi dan keuangan. Hukum ekonomi dan keuangan Islam di Indonesia dewasa ini dapat dikatakan masih sangat terbatas. Bukan semata-mata terbatas dalam bidang/jenis ekonomi dan keuangan tertentu yang telah diaturnya; melainkan juga sangat terbatas dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai ilustrasi, dari 22 bidang hukum ekonomi/keuangan yang termuat dalam kitab Bulugh al-Maram sebagaimana dituliskan sebelum ini, baru sebagian kecil saja yang tercover dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian terbesarnya, sama sekali belum tertuangkan ke dalam legislasi, bahkan sebagai bagian dari ilmu ekonomi sekalipun masih belum tersosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat luas. Kajian tentang ayat-ayat dan hadis-hadis hukum ekonomi di lembaga-lembaga tinggi, jelas masih terlalu jauh dari yang seharusnya, apalagi dari yang dicita-citakan. Selain terbatas tenaga ahlinya, juga sangat terbatas porsi waktu dan lain-lain yang disediakan untuk itu. Padahal, penurunan norma-norma hukum dan terutama nilai-nilai ekonomi Islam ke dalam hukum yang hidup di masyarakat apalagi dalam bentuk legislasi nasional, kini benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat hukum Indoneia.
Minimnya peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah ini, bukan disebabkan minimnya norma-norma hukum Islam yang dapat dikaji dan digali dari berbagai literatur yang tersedia; melainkan lebih disebabkan faktor-faktor lain di luar hukum Islam sebagai bahan bakunya. Kalau terpaksa juga harus disebutkan, maka di antara faktor penyebabnya ialah karena kemauan politik (political well) yang belum sepenuhnya mengayomi di samping keterbatasan dana yang dialokasikan untuk itu. Guna mempercepat proses legislasi nasional di bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah, maka mutlak diperlukan dukungan dana yang memadai di samping kemauan politik yang mengayomi. Tanpa kemauan politik yang mengayomi dan dukungan dana yang memadai, legislasi nasional di bidang ekonomi Syariah belum tentu lebih baik dari legislasi-legislasi nasional di bidang-bidang yang lain. Apalagi legislasi nasional yang berhubungan dengan dunia Syariah. Padahal, secara ideologis maupun konstitusi, hukum Islam (syariah) dalam konstelasi tata hukum Indonesia memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memainkan peranan (fungsi) yang sangat penting.

II.4. KEDUDUKAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).” “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya, hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).
Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan.
Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan.
Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan  “tirani minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi Konvensional.        
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
II.5. URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI ISLAM
UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
Bank syariah.
Lembaga keuangan mikro syari’ah,
Asuransi syari’ah,
Reasurasi syari’ah,
Reksadana syari’ah,
Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
Sekuritas syariah,
Pembiayaan syari’ah,
Pegadaian syari’ah,
Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
Bisnis syari’ah
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.
Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

BAB III

III.1. Tujuan Dan Aspek Hukum Islam

Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan individunya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum, tujuan pencipta hukum (syari’) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya baik si sunia maupun akhirat. Tujuan hukum islam yang demikian itu dapat kita tangkap antara lain dari firman Allah SWT:

Dalam QS. Al-Anbiya ayat 107, “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Dan dalam surat QS. Al-baqarah:201-202, dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"( Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim).


202.” mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Tujuan Hukum Islam (maqashid al syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diperinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqashid al-khamsah atau al kulliyat al-khamsah.”
Lima tujuan itu adalah:
1) Memelihara agama (hifdz al-din).
    Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia agar manusia dapat \
2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs).
    Karena hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup.
3) Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql).
    Pemeliharaan akal sangat penting bagi manusia karena dengan mempergunakan akalnya.
4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl).
    Agar pemeliharaan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).
    Agar manusia memperoleh harta dengan cara yang halal kehidupannya.

III.3. Aspek-Aspek Hukum Islam

      Hukum islam sebagai hukum-hukum yang mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan sesuatu hukum, sukar mudahnya, hidup matinya, dapat diterima atau ditolak oleh masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya. Maka asas-asas (dasar-dasar)pembinaan hukum islam yang dikatakan Da’a imut Tasyri’ = tiang-tiang pokok pembinaan hukum, antara lain, ialah :

 Nafyul Haraji = meniadakan kepicikan.
     Allah berfirman : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu    kesempitan. “ Segala hukum islam yang diwahyukan allah, tidak ada didalamnya sesuatu yang menimbulkan kepicikan yang sulit dipikul oleh manusia.














KESIMPULAN

Ekonomi islam memerangi praktek riba yang merugikan dan membuat seseorang terjerat dengan lipatan bunga, menganjurkan kejujuran demi kebaikan dan keadilan manusia.
Menolak praktek kecurangan timbangan, penipuan jual beli, monopoli komoditas ekonomi dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara.
Macam – macam azas hokum islam :
Adam Al-Haraj ( meniadakan kesukara )
Taklil Al Taklif ( meringankan pembebanan )
Tadarruj fi Al Tasyri’ ( Berangsur – angsur dalam pembayaran )
Tahqiqul ‘Adalah ( menghendaki adanya Realisasi keadilan ).
Tujuan Dan Aspek Hukum Islam :
1) Memelihara agama (hifdz al-din).
    Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia agar manusia dapat \
2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs).
    Karena hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup.
3) Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql).
    Pemeliharaan akal sangat penting bagi manusia karena dengan mempergunakan     akalnya.
4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl).
    Agar pemeliharaan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).
    Agar manusia memperoleh harta dengan cara yang halal kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Zuhdi, Masjfuk. 1998. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta : haji Masagung.
Prof. Dr. H. Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Daud Ali, Muhammad. 1990. Hukum Islam. Jakarta. Rajawali Pers.
Prof. Dr. T. M. Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bermanfaat,kunjungi juga KPPU RI Perpanjang MoU dengan UII sekaligus Gelar Kuliah Umum di Pasca Sarjana FH UII

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.