BAB I
PENDAHULUAN
I. ASUMSI DASAR HUKUM EKONOMI
ISLAM
Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari
perintah dan pengaturan syariah untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan
dan pembagian sumber daya material agar memberikan kepuasan kepada manusia
sehingga memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah SWT
dan masyarakat. Ilmu ekonomi islam merupakan Suatu kajian yang senantiasa
memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah. Sisitem ekonomi islam merupakan
Salah satu aspek dalam sisitem nilai islam bagi seorang muslim.
2. METODE STUDY
EKONOMI ISLAM
Ruang Lingkup Metodologi Studi Ekonomi Islam
Segi materi didikannya; meliputi pendidikan fisik,
akal, agama (akidah dan syari’ah), akhlak, dan sosial kemasyarakatan yang
digambarkan oleh Allah dalam al-qur’an dan hadits.
Segi sejarah atau periodenya, meliputi; periode pembinanaan
masa nabi Muhammad saw (penurunan wahyu hingga wafat). Periode wafatnya nabi
Muhammad hingga perkembangan ilmu-ilmu naqliyah pada masa bani Umayyah, periode
kejayaan, kemunduran dan pembaharuan pendidikan islam dan sistem Ekonomi Islam.
Segi kelembagaanya, meliputi; model-model pendidikan
seperti kuttab, masjid, masjid khan dan madrasah.
Segi sistem dan kedudukannya sebagai suatu
ilmu, mengandung aspek tujuan, kurikulum, guru, proses pembelajaran, metode pendekatan,
manajemen pendidikan
dan seterusnya. Dan sungguh hal-hal tersebut tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Peran dan Tujuan Metodologi Studi Ekonomi
Islam,
Beberapa argumentasi awal untuk membuktikan
perkembangan positif perkembangan Islam di suatu kawasan, yaitu:
Pertama. Islam sebagai agama perdamaian. Bentuk
pernyataan keesaan kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa harus disertai
dengan kemaslahatan persaudaraan umat manusia. Kedua. Islam menjalankan peran
dalam menghadapi problematika hidup manusia. Mencakup masalah keagamaan,
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, budaya. Ajaran Islam tidak sebatas
keyakinan un sich kepada Tuhan. Tetapi mencakup semua sistem kehidupan
bermasyarakat dengan multidimensinya. Ketiga. Peran sosial Islam dalam
menghadapi perbedaan kasta dan strata sosial, termasuk perbedaan gender, warna
kulit, suku bangsa, bahasa, dan agama. Semua manusia adalah sama di hadapan
Tuhan, hanya tingkat ketaqwaan dan prestasi usahanya di dunia yang
membedakannya menurut Tuhan. Ajaran Islam harus dibuktikan secara komprehensif
sebagai agama yang mengutamakan kesetaraan antar manusia sesuai dengan potensi
dan fungsi masing-masing. Bersifat egaliter dalam masyarakat sebagai makhluk
dan hamba Allah SWT. Keempat. Peran politik dan hukum Islam menekankan pada keadilan,
kebijaksanaan, dan menegaskan supremasi hukum. Setiap pemimpin dalam ajaran
Islam harus memberikan ketentraman dan keamanan, serta selalu mengutamakan
kepentingan orang banyak. Kelima. Pendidikan Islam memberikan ruang bebas dalam
pemenuhan hak-hak manusia dalam mendapatkan pendidikan. Pemerataan pendidikan
termasuk misi Islam, malah mempelajari ilmu adalah kewajiban sampai tutup usia.
Keenam. Ekonomi Islam memerangi praktek riba yang merugikan dan membuat
seseorang terjerat dengan lipatan bunga. Menganjurkan kejujuran demi kebaikan
dan keadilan manusia. Menolak praktek kecurangan timbangan, penipuan jual beli,
monopoli komoditas ekonomi, dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara.
Kekayaan materi merupakan sarana berbuat baik dan
memajukan manusia lain. Persaingan tidak sehat membuat rakyat lemah semakin
miskin. Ajaran Islam menganjurkan pemanfaatan optimal harta untuk kebaikan
dunia dan akhirat. Bukan malah menjadi budak dari harta.
Mengungkap faktor emosional dalam kerangka rasional,
aktual, dan kultural berupa kecintaan pada agama Islam.
Membuktikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan
memberikan kebaikan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
Menghilangkan paradigma negatif sebagian masyarakat
dunia terhadap agama Islam. Tanggapan negatif terhadap Islam sering kali
menyudutkan komunitas Muslim di berbagai negara.
3. Prilaku Ekonomi
Islam
Kegiatan ekonomi adalah bagian dari keberagaman,
sehingga pencapaian tujuannya perlu diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan
risalah. Sebagai ilmu yang tidak bebas nilai, Ekonomi Islam bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah. Jika sifat perilaku dan pelaku ekonomi tidak dengan
sendirinya mengantarkan pada tujuan, maka persoalannya sekarang adalah
bagaimana mewarnai perilaku tersebut sehingga memenuhi kualifikasi yang
diharapkan.
Akhlak dalam Produksi
Akhlak dalam bidang produksi dibagi dalam tiga aspek
yaitu:
Bahan produksi,
Etika Kerja Produksi
Berasal dari sumber daya alam ( Surat Ibrahim
14 :32-33, Al Anfal 8 : 2-4, Asy Syura 42: 38, Al Baqarah 2 : 3)
Berasal bahan halal, dilarang mempergadangkan barang
yang haram (Al Maidah 5 : 2)
Bahan thayyib, baik dan bermutu
1. Bersungguh-sungguh
2. Amanah
3. Jujur, menyempurnakan timbangan dengan adil (Al
An’am 6 : 152)
4. Bersih, suci, sehat
5. Hegienes
6. Tidak terjadi pemborosan
7. Buruh tunaikan kewajiban majikan tunaikan
kewajiban (Al Hud 11 : 18)
Prinsip dalam produksi
Dalam memproduksi sektor ekonomi, islam memberiakan
kebebasan kepada setiap manusia untuk membuat aturan main sesuai dengan kreativitas,
tingkat keilmuan, situasi dan kondisinya. Islam memprioritaskan tujuan kegiatan
ekonomi yaitu kemaslahatan bagi manusia dan terhindar dari kemadharatan serta
terciptanya efisiensi dalam kehidupan. Apabila sebuah mesin dapat meningkatkan
jumlah produksi, menghemat tenaga, mengurangi jam kerja karyawan, mengurangi
modal dan mendatangkan banyak hasil, islam menyabutnya dengan baik. Produksi
adalah menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam oleh manusia.
Islam menganjurkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam secukupnya (Q.S
Ibrahim 14: 32-34)
Prinsip-prinsip Islam dalam berproduksi
Rezeki akan didapat dengan bekerja dan berusaha (Al
Mulk 67 : 15)
Bekerja adalah ibadah. Islam menganjurkan manusia
untuk memproduksi sektor-sektor ekonomi; pertanian, perkebunan, perikanan,
perindustrian dan perdagangan.
Tujuan bekerja adalah mencapai tujuan hidup untuk
kemaslahatan keluarga dan masyarakat, memakmurkan diri dan mendekatkan
diri kepada Allah.
Bekerja dengan tekun, islam menganjurkan manusia
untuk bekerja secara tekun, tidak asal jadi, tidak sembarangan, supaya kualitas
produksinya tinggi. Misal menyembelih hewan dengan pisau yang sebelumnya diasah
menjadi tajam.
Akhlak Dalam Konsumsi
Penjelasan dari beberapa ayat :
Memanfaatkan harta untuk kebaikan, menjauhi sifat
kikir, menggunakan harta secukupnya (Al Baqarah 2:3, An Nisa 4:39, Al Anfal
8:3-4, Asy Syura 42:38)
Menggunakan harta untuk kemanfataan yang membawa
kebaikan, harta wajib dibelanjakan (Qs. 2:3, 4:39, 8:2-4, 42:38)
Sasaran membelanjkan harta : Fi sabilillah, diri dan
keluarga, kaum kerabat dan masyarakat.
Larangan Islam dalam membelanjakan harta secara
berlebihan.
BAB II
II.1. TATANAN SISTEM EKONOMI ISLAM
Tatanan Sistem Ekonomi Islam adalah sebuah kerangka
dasar dari semua sistem yang tepadu yang mengintegrasikan antara tujuan,
konsep, landasan yang diharapkan untuk merealisasikan sistem tersebut sehingga
terealisasi. Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan
keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan
ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid
(keesaan Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan
yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia Islam.
Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh
Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan
atau aksiden (Q.S. Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun: 15). Dari pandang
tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu. Karena itu
pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (Q.S.
al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya alam yang diciptakan harus
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini,
jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi dari
pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan universal, yang kemudian
menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai amanah
karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan
ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan keadilan
sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan
telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25).
Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi,
bahkan pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor ril menjadi
tidak tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru
tersebut, paling tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat
pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut harus memperhatikan
prinsip kesejajaran dan keseimbangan (equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep
al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran
sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi pemanfaatan
yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan alam yang
pada gilirannya adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya
juga pada manusia dalam jangka panjang. Kedua, minimalisasi kesenjangan
distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan
distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi
pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang
diterima secara universal. Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip
kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak
dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang
tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan
mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij:
24-25). Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa
dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf. Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan
kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan
distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang
lebih banyak daripada yang mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi
statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat
upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini
berkewajiban untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan
mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu
menyerap semua lapisan. Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian
integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah. Peranannya,
sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap
perilaku sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang
salah. Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di
antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini,
lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas
dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena
suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan
yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.
II.2. ASAS PENERAPAN HUKUM ISLAM
Asas hukum islam adalah suatu kebenaran yang menjadi
pokok dasar atau tumpuan Hukum Islam.
Macam-macam asas hukum islam adalah sebagai berikut
:
1. Adam al-Haraj (Meniadakan Kesukaran)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya. Itu diwujudkan dengan
mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada manusia, agar
menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya.
2. Taqlil Al-taklif (Menyedikitkan pembebanan)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif
(penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam
kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi
atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata
sosial. Hal ini berguna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan
manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa didasari
parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni
tidak
3. Tadarruj fi al-Tasyri’ (Berangsur-angsur dalam
pesyariatan)
memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam
al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final,
melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan
syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai
dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu.
4. Muthobiqun Li Mashalihil Ummah (Sejalan dengan
kemashlahatan ummat)
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum
al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi
kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan,
agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran
senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat
Islam.
5. Tahqiqul ‘Adalah (Menghendaki adanya realisasi
keadilan)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip
utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan
hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi seluruh
agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran
masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum
sesuai hukum Islam.
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama:
ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah
masyarakat.Kedua: sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum
Islam dan mengawasi serta mengoreksi perilaku penguasa. Ketiga:
negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat
ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah
negara. Realitas menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam.
Adapun negara adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya
syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah
merupakan metode tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk
menerapkan syariat Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah
yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung
jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.
Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia
bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad
dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).
II.3. Hukum Ekomnomi Islam Dalam Al-Qur’an As-Sunnah
dan Kitab – Kitab Fiqih
Indikator lain tentang kepedulian Islam terhadap
persoalan ekonomi dan keuangan, ialah kenyataan yang menunjukkan bahwa di dalam
al-Qur’an, yang menjadi sumber utama dan pertama hukum Islam, terdapat sejumlah
ayat yang mengatur persoalan-persoalan hukum ekonomi dan keuangan (ayat
al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah ). Menurut kesimupulan Abdul Wahhab Khallaf,
paling sedikit ada 10 ayat hukum dalam al-Qur’an yang berisikan norma-norma
dasar hukum ekonomi dan keuangan.
Berbeda dengan Khallaf, yang melihat ayat-ayat
ekonomi semata-mata dari aspek hukumnya, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam konteks
yang agak luas memprakirakan ayat-ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Qur’an
berjumlah 21 ayat yang secara langsung terkait erat dengan soal-soal ekonomi.
Berlainan dengan Khallaf yang sama sekali tidak menunjukkan ayat-ayat mana saja
yang ia maksud dengan 10 ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah di atas,
al-Fanjari secara eksplisit menyebutkan satu demi satu ke-21 ayat ekonomi yang
dimaksudkannya, yaitu: al-Baqarah (2): 188, 275 dan 279; An-Nisa (4): 5 dan 32;
Hud (11): 61 dan 116; Al-Isra’ (17): 27; An-Nur (24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13;
Adz-Dzariyat (51): 19; An-Najm (53): 31; Al-Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7;
Al-Jumu`ah (62): 10; Al-Ma`arij (70): 24 dan 25; Al-Ma`un (107): 1-3.
Senafas dengan al-Qur’an, al-Hadits yang menjadi
sumber hukum Islam penting kedua setelah al-Qur’an, juga membincang persoalan
ekonomi dan keuangan. Di dalam buku-buku hadis yang ada, terutama buku-buku
hadis hukum, selalu ditemukan kitab atau bab yang secara khusus membahas
persoalan-persoalan ekonomi dan keuangan. Sebagai ilustrasi, perhatikan salah
satu kitab hadis hukum yang paling masyhur dan dikenal luas oleh para akademisi
di seluruh dunia Islam dan bahkan perguruan-perguruan tinggi non Islam yang
mempelajari hukum Islam.
Ada yang memuat 192 hadis hukum tentang ihwal
ekonomi dan bisnis yang dikemas ke dalam beberapa bab, selengkapnya adalah
sebagai berikut:
Bab as-syuruth al-buyu` wa-ma nuhiya `anhu (bab
tentang syarat-syarat jual-beli dan hal-hal yang terlarang dari padanya), atau
conditions of business transactions and those which are forbidden (46 hadis);
Bab al-khiyar (bab tentang hak memilih pelaku akad
untuk meneruskan atau membatalkan akadnya), atau reconditional bargains (3
hadis);
Bab ar-riba (bab tentang riba), atau usury (18
hadis);
Bab ar-rukhshah fil-`araya wa-bai`il-ushuli
watstsimar (kelonggaran tentang berbagai pinjaman dan jual-beli pepohonan dan
buah-buahnya), atau licence regarding the sale of `Araya and the sale of trees
and fruits (7 hadis);
Bab as-salam wal-qardhi war-rahni (bab tentang
jual-beli salam, pinjam-meminjam dan gadai), atau payment in advance, loan and
pledge (10 hadis);
Bab at-taflis wa-al-hajr (bab tentang pailit dan
penahanan harta seseorang), atau insolvency and seizure (10 hadis);
Bab as-shuluh (bab tentang perdamaian), atau
reconciliation (4 buah hadis);
Bab al-hawalah wad-dhaman (bab tentang pemindahan
hutang dan tanggungan/jaminan pembayaran hutang), atau transference of a debt
to another and surety (4 hadis);
Bab as-syirkah wal-wakalah (bab tentang Persekutuan
dan perwakilan), atau partnership and agency (8 hadis);
Bab al-iqrar (bab tentang – pernyataan – pengakuan),
confession (1 hadis);
Bab al-`ariyah (bab tentang pinjaman), atau loan (5
hadis);
Bab al-ghashb (bab tentang mengganggu hak orang
lain), atau wrongful appropriation (6 hadis);
Bab as-syuf`ah (bab tentang hak pilihan untuk
membeli harta yang dimiliki secara bersekutu), atau option to buy neighbouring
property (6 hadis);
Bab al-qiradh (bab tentang peminjaman modal kepada
orang lain dengan motif bagi untung antara pemilik modal dan yang menggunakan
modal), atau giving someone some property to trade with, the profit being
shared between the two but any loss falling on the property (2 hadis);
Bab al-masaqah wal-ijarah (bab tentang pemeliharaan
kebun dan upah atau gaji), atau tending palm-trees and wages (9-10 hadis);
Bab Ihya’ al-mawat (bab tentang penggarapan/pengelolaan
tanah tidak bertuan), atau bringing barren lands into cultivation (5-6 hadis);
Bab al-waqf (bab tentang wakaf), atau mortmain (3
hadis);
Bab al-hibah, wa-al-`umra, wa-ar-ruqba (bab tentang
hibah, umra dan penjaga upahan), atau gifts, life-tenancy, and giving property
which goes to the survivor (11 hadis);
Bab al-luqathah bab tentang luqatah), atau finds (6
hadis);
Bab al-fara’idh (bab tentang kewarisan), atau shares
inheritance (13 hadis);
Bab al-washaya (bab tentang wasiat), atau wills (6-7
hadis);
Bab al-wadi`ah (bab tentang penitipan), atau trust
(satu hadis).
Pembahasan ekonomi Islam/Syariah akan semakin terasa
meluas dan mendalam tatkala kita membaca literatur-literatur Islam yang lain
terutama dalam berbagai kitab fiqih (hukum Islam) yang jumlahnya tidak lagi
puluhan apalagi belasan; akan tetapi, telah mencapai ratusan dan bahkan ratusan
ribu. Hampir atau bahkan semua kitab fikih — terutama yang bersifat umum dan
berukuran tebal apalagi berjilid-jilid — pasti membahas persoalan muamalah
khususnya dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Selain kitab-kitab fikih yang membahas berbagai
persoalan hukum Islam dalam bentuknya yang bersifat umum dan komprehensif, juga
teramat banyak kitab-kitab fikih – klasik maupun kontemporer – yang secara
spesifik membahas ihwal ekonomi-bisnis dan keuangan ala Islam secara khusus.
Perhatikan misalnya karya Abi Abdul Qasim bin Salam (1408 H/1988 M), Kitab
al-Amwal, dan buah pena Ahmad Isa Asyur, al-Fiqh al-Muyassar fil-Mu`amalat. Yang
pertama merepresentasikan karya-karya fikih keuangan klasik; sedangkan yang
kedua, mewakili kitab-kitab fikih ekonomi kontemporer.
Pendeknya, hukum ekonomi Islam sebagaimana dapat
ditelusuri dalam berbagai literatur yang ada dan tersedia, memiliki jangkauan
yang sangat luas. Hanya saja, bagaimana cara kita menggali dan mengembangkan
norma-norma hukum ekonomi Islam yang terserak-serak di dalam berbagai literatur
dimaksud, inilah tantangan yang harus dijawab dan dicarikan solusinya.
II.4. Jangkaun Hukum Ekonomi Islam
Seperti dapat difahami dari sisinya yang manapun,
ekonomi dan ilmu ekonomi termasuk ekonomi Islam memiliki jangkauan atau
ruang-lingkup yang sangat luas. Ekonomi Syariah, tidak semata-mata berhubungan
dengan ihwal bahan baku, produksi, distribusi, pemasaran dan konsumsi seperti
yang sering menjadi pembahasan utama ilmu ekonomi, akan tetapi ekonomi juga
berhubungan dengan dunia kerja dan dunia usaha. Demikian pula halnya dengan
lembaga-lembaga keuangan baik dalam bentuk bank maupun non bank.
Dunia kerja dan dunia usaha kita terutama yang
berhubungan dengan sektor riil dewasa ini terkesan sedemikian sempit. Dunia
kerja dan usaha seolah-olah identik benar dengan dunia perdagangan (tijarah)
dan industri-industri tertentu dengan buruh sebagai andalan utamanya; sementara
sektor-sektor yang lain semisal kehutanan, pertanian, kelautan, transportasi
dan lain-lain, belum digarap secara memadai apa lagi profesional. Demikian pula
dengan dunia keuangan yang seakan-akan identik benar dengan perbankan dan
beberapa lembaga keuangan non bank khususnya asuransi. Sementara dalam
bidang-bidang yang lain semisal pegadaian, tampak belum tertangani sebagaimana
mestinya. Belum lagi mengamati kecenderungan pasar yang terkesan lebih
berorientasi ke wilayah-wilayah perkotaan — atau tepatnya kota-kota besar —
dengan kurang peduli untuk tidak mengatakan mengabaikan pengembangan pasar yang
sejatinya juga mengarah ke daerah-daerah pedesaan. Padahal, di antara prinsip
ekonomi dan keuangan yang telah dan hendak terus dibangun oleh Islam/Syariah
ialah prinsip keadilan dan pemerataan. Tanpa penerapan kedua prisnip ini,
keadilan yang merata dan atau pemerataan yang berkeadilan, sistem ekonomi Islam
tidak akan ada bedanya dengan sistem-sistem ekonomi yang lain.
Dalam itu, upaya memperluas konsep dan wawasan
ekonomi Islam/Syariah sebagaimana disinggung di atas, pada gilirannya menuntut
pula pengembangan konsep hukum Islam tentang ekonomi dan keuangan. Hukum
ekonomi dan keuangan Islam di Indonesia dewasa ini dapat dikatakan masih sangat
terbatas. Bukan semata-mata terbatas dalam bidang/jenis ekonomi dan keuangan
tertentu yang telah diaturnya; melainkan juga sangat terbatas dalam hierarki
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai ilustrasi, dari 22
bidang hukum ekonomi/keuangan yang termuat dalam kitab Bulugh al-Maram
sebagaimana dituliskan sebelum ini, baru sebagian kecil saja yang tercover
dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian terbesarnya, sama sekali belum tertuangkan ke
dalam legislasi, bahkan sebagai bagian dari ilmu ekonomi sekalipun masih belum
tersosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat luas. Kajian tentang ayat-ayat
dan hadis-hadis hukum ekonomi di lembaga-lembaga tinggi, jelas masih terlalu
jauh dari yang seharusnya, apalagi dari yang dicita-citakan. Selain terbatas tenaga
ahlinya, juga sangat terbatas porsi waktu dan lain-lain yang disediakan untuk
itu. Padahal, penurunan norma-norma hukum dan terutama nilai-nilai ekonomi
Islam ke dalam hukum yang hidup di masyarakat apalagi dalam bentuk legislasi
nasional, kini benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat hukum Indoneia.
Minimnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah ini, bukan disebabkan minimnya
norma-norma hukum Islam yang dapat dikaji dan digali dari berbagai literatur
yang tersedia; melainkan lebih disebabkan faktor-faktor lain di luar hukum
Islam sebagai bahan bakunya. Kalau terpaksa juga harus disebutkan, maka di
antara faktor penyebabnya ialah karena kemauan politik (political well) yang
belum sepenuhnya mengayomi di samping keterbatasan dana yang dialokasikan untuk
itu. Guna mempercepat proses legislasi nasional di bidang ekonomi dan keuangan
Islam/Syariah, maka mutlak diperlukan dukungan dana yang memadai di samping
kemauan politik yang mengayomi. Tanpa kemauan politik yang mengayomi dan
dukungan dana yang memadai, legislasi nasional di bidang ekonomi Syariah belum
tentu lebih baik dari legislasi-legislasi nasional di bidang-bidang yang lain.
Apalagi legislasi nasional yang berhubungan dengan dunia Syariah. Padahal, secara
ideologis maupun konstitusi, hukum Islam (syariah) dalam konstelasi tata hukum
Indonesia memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memainkan peranan (fungsi)
yang sangat penting.
II.4. KEDUDUKAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada
tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara
hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia
sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan:
“Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).” “Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtsstaat).
Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum
termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia
adalah negara hukum.” Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan
kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk
di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita
tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam
kenyataannya, hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih
berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar
pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis
(uncodified law).
Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan
dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang
memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus
dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan.
Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi
Islam yang tengah dibincangkan.
Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal
formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan
mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat
karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu
solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga
mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih
mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan
perundang-undangan.
Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah
dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin
terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional
Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi
dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan
masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para
penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika
itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama,
khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini.
Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam
konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian
daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan
lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas
di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret
bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo
dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah
pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal
masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian
terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan
kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut
oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia
sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan
“diktator mayoritas” dan “tirani
minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan
secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya
berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi
Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran
sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada
umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan
lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi
Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan
tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan
Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para
pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk
disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping
lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana
justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum
ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum
Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi
fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya
menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi
peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang,
melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum
Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan
sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan
sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan
kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan
meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang
dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti
dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah
dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak
bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya
antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera
dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34
yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
II.5. URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI ISLAM
UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No
7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap
perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara
luas. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
Bank syariah.
Lembaga keuangan mikro syari’ah,
Asuransi syari’ah,
Reasurasi syari’ah,
Reksadana syari’ah,
Obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah,
Sekuritas syariah,
Pembiayaan syari’ah,
Pegadaian syari’ah,
Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
Bisnis syari’ah
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah
hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan
atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri
yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam prakteknya,
sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di
lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata
yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang
hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia
Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak
lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang
berlaku adalah BW.
Secara historis, norma-norma yang bersumber dari
hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari
perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis
mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda.
Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat
terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah
diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa
pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.
BAB III
III.1. Tujuan Dan Aspek Hukum Islam
Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada
manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju
tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan
individunya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum, tujuan pencipta
hukum (syari’) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan
kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya baik si sunia maupun akhirat.
Tujuan hukum islam yang demikian itu dapat kita tangkap antara lain dari firman
Allah SWT:
Dalam QS. Al-Anbiya ayat 107, “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dan dalam surat QS. Al-baqarah:201-202, dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"( Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim).
202.” mereka Itulah orang-orang yang mendapat
bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Tujuan Hukum Islam (maqashid al syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diperinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqashid al-khamsah atau al kulliyat al-khamsah.”
Tujuan Hukum Islam (maqashid al syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diperinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqashid al-khamsah atau al kulliyat al-khamsah.”
Lima
tujuan itu adalah:
1) Memelihara agama (hifdz al-din).
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia agar manusia dapat \
2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs).
Karena hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup.
3) Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql).
Pemeliharaan akal sangat penting bagi manusia karena dengan mempergunakan akalnya.
4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl).
Agar pemeliharaan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).
Agar manusia memperoleh harta dengan cara yang halal kehidupannya.
III.3. Aspek-Aspek Hukum Islam
1) Memelihara agama (hifdz al-din).
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia agar manusia dapat \
2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs).
Karena hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup.
3) Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql).
Pemeliharaan akal sangat penting bagi manusia karena dengan mempergunakan akalnya.
4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl).
Agar pemeliharaan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).
Agar manusia memperoleh harta dengan cara yang halal kehidupannya.
III.3. Aspek-Aspek Hukum Islam
Hukum islam sebagai hukum-hukum yang mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan sesuatu hukum, sukar mudahnya, hidup matinya, dapat diterima atau ditolak oleh masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya. Maka asas-asas (dasar-dasar)pembinaan hukum islam yang dikatakan Da’a imut Tasyri’ = tiang-tiang pokok pembinaan hukum, antara lain, ialah :
Nafyul Haraji = meniadakan kepicikan.
Allah berfirman : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “ Segala hukum islam yang diwahyukan allah, tidak ada didalamnya sesuatu yang menimbulkan kepicikan yang sulit dipikul oleh manusia.
KESIMPULAN
Ekonomi islam memerangi praktek riba yang merugikan
dan membuat seseorang terjerat dengan lipatan bunga, menganjurkan kejujuran
demi kebaikan dan keadilan manusia.
Menolak praktek kecurangan timbangan, penipuan jual
beli, monopoli komoditas ekonomi dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara.
Macam – macam azas hokum islam :
Adam Al-Haraj ( meniadakan kesukara )
Taklil Al Taklif ( meringankan pembebanan )
Tadarruj fi Al Tasyri’ ( Berangsur – angsur dalam
pembayaran )
Tahqiqul ‘Adalah ( menghendaki adanya Realisasi keadilan
).
Tujuan Dan Aspek Hukum Islam :
1)
Memelihara agama (hifdz al-din).
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia agar manusia dapat \
2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs).
Karena hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup.
3) Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql).
Pemeliharaan akal sangat penting bagi manusia karena dengan mempergunakan akalnya.
4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl).
Agar pemeliharaan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).
Agar manusia memperoleh harta dengan cara yang halal kehidupannya.
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia agar manusia dapat \
2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs).
Karena hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup.
3) Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql).
Pemeliharaan akal sangat penting bagi manusia karena dengan mempergunakan akalnya.
4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl).
Agar pemeliharaan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).
Agar manusia memperoleh harta dengan cara yang halal kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Zuhdi, Masjfuk. 1998. Pengantar Hukum Syariah.
Jakarta : haji Masagung.
Prof. Dr. H. Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam.
Jakarta : Gaya Media Pratama.
Daud Ali, Muhammad. 1990. Hukum Islam. Jakarta.
Rajawali Pers.
Prof. Dr. T. M. Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Falsafah
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1 komentar:
bermanfaat,kunjungi juga KPPU RI Perpanjang MoU dengan UII sekaligus Gelar Kuliah Umum di Pasca Sarjana FH UII
Posting Komentar