BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Perkembangan ekonomi Islam
akhir-akhir ini begitu pesat. Dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik
dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara praktik
operasional. Dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah di kembangkan di berbagai
University, baik di negara-negara muslim juga negara barat. Misalnya di Inggris
ada beberapa university yang telah mengembangkan kajian ini seperti University
of Durham, University of Portsmouth dan yang lainnya. Di Amerika sendiri dikaji
di University of Harvard, bahkan Australia pun melakukan hal yang sama di
University of Wolongong. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam berkembang dan
menjadi pusat kaajian dunia, terutama dalam mengembangkan kegiatan dunia usaha
yang semakin global dan kompleks..
Salah satu kegiatan usaha yang
paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaaanya di dunia ekonomi dewasa ini
adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh karena fungsinya sebagai
pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini mampu melancarkan
gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di
berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah. Demikian pula lembaga
keuangan ini dapat menyediakan dana bagi pengusaha-pengusaha swasta atau
kalangan rakyat pengusaha lemah yang membutuhkan dana bagi kelangsungan
usahanya. Dan juga berbagai fungsi lain yang berupa jasa bagi kelancaran
lalu-lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antar Negara.
Hal ini juga terjadi di Indonesia
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari
pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan
ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank merupakan lembaga
keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan utama dari
perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat.
1
Di Indonesia, berdasarkan
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998, ada 2 (dua) jenis bank jika
ditinjau menurut kegiatan usahanya yaitu :
- Bank Konvensional yaitu bank yang menjalankan
kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri
atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum
Konvensional dalam kegiatannya menjalankan dual banking system
(sistem konvensional dan sistem syari’ah).
- Bank Syari’ah, yaitu bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah. Bank
Umum Syariah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan Bank Pembiayaan
Rakyat Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan hal di atas berarti Bank
Konvensional dapat juga menjalankan perbankan sistem syari’ah (dual banking
system) selain itu ada Bank Syari’ah yang khusus menjalankan prinsip
syari’ah tanpa prinsip konvensional. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan tidak ada mengatur tentang menjalankan kegiatan
perbankan dengan prinsip syari’ah. Dengan demikian jelas ada perbedaan
antara menjalankan perbankan dengan prinsip konvensional dan dengan
prinsip syari’ah. Prinsip konvensional dalam kegiatannya adanya bunga yang
diinspirasikan oleh sistem ekonomi kapitalis dengan jalan menarik keuntungan
usahanya terutama dari bunga kredit yang dimamfaatkannya melalui dana simpanan
masyarakat yang kemudian dipinjam kembali kepada masyarakat dengan tambahan
berupa bunga sedangkan prinsip syari’ah berdasarkan hukum Islam dan tidak
mengenal bunga tapi bagi hasil. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah),…dan seterusnya”
2
Sedangkan dalam Pasal 12
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan
Prinsip Syariah adalah Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang di keluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.
Prinsip syari’ah ini muncul wajar
saja, karena tidak semua masyarakat Indonesia tertarik menggunakan jasa
perbankan yang pada waktu itu masih konvensional. Terutama masyarakat Indonesia
yang beragama Islam yang menganggap bank dalam kegiatannya mengandung riba.
Oleh karena tuntutan kebutuhan nasabah dan karena mayoritas masyarakat Indonesia
beragama Islam maka perlu ada suatu Bank yang mampu mengakomodir kebutuhan
nasabah tersebut yaitu bank yang Islami yang berlandaskan pada Aqur’an dan
Hadist, maka lahirlah Bank Syari’ah seperti yang dirasakan saat ini.
Bank Syariah merupakan salah
satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam mewujudkan nilai-nilai
dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan
dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif
berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun
sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah
Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang
perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan
lil alamin”. Bank Syariah
yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang
mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Keberadaan Bank Syari’ah dalam
sistem perbankan Indonesia merupakan bank umum yang berlandaskan pada prinsip
syari’ah (hukum) Islam, sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 (Pasal 6 huruf m) maka memberikan landasan hukum bagi Bank
Syariah baik dari segi kelembagaan maupun operasionalnya.
Lahirnya perbankan syari’ah menunjukkan bahwa
ajaran-ajaran Islam cukup signifikan memasuki wilayah apapun termasuk wilayah
ekonomi perbankan dalam bentuk keuangan syariah. Ajaran-ajaran Islam tersebut
mutlak harus ditaati dan dipedomani oleh seluruh orang Islam dalam menjadikan
aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan transaksi dan penanaman
modal. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbankan
Syari’ah
Perbankan syari’ah atau perbankan
Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan
dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman
dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam
investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau
minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Karakteristik sistem perbankan
syariah adalah dalam kegiatannya berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan
alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank,
serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan
beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan
yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan
yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali. Berdasarkan prinsip bagi hasil, bank Islam akan berfungsi
sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.
Melihat dari latar belakangnya, Bank
Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam Islam. Kelahiran lembaga keuangan
yang bebas bunga, terutama di negara- negara muslim telah memberikan dimensi
baru dalam bidang ekonomi. Secara umum Bank Syariah merupakan suatu lembaga
keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang kelebihan dana
dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Prinsip umum hukum Islam, berdasarkan ayat
dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara
yang tidak benar atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara
etika adalah dilarang. 4
B.
Lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam) di Indonesia.
Konsep teoritis mengenai bank Islam
muncul pertama kali pada tahun 1940- an, dengan gagasan mengenai perbankan yang
berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini, dapat disebutkan
pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci
mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar
Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah
(1944-1962). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam
dengan karyanya yang berjudul; A Groundwork for Interest Free Bank.
Sementara itu, ide pendirian bank
syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank
syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan
1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan
(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya
umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak
saat itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendikiawan
muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat
terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan
para ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim.
Kemudian gagasan mengenai bank
syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para
ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada
satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan
dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari
lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20
Agustus 1990, maka dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI
tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di
Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi
tugas untuk melakukan pedekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan
MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. 5
Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank
Muamalat Indonesia resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah
memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh menteri Kabinet
Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab,
Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya
Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai Yayasan penompang Bank
Muammalat Indonesia. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1
Mei 1992, Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi.
Setelah Bank Muammalat Indonesia
mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah pertama di
Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan mempraktekkan
sistem syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Namun
karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan
pemerintah yang tayangan-tayangannya bahkan masuk ke pelosok desa dan kecamatan
untuk menyedot dana dari masyarakat, membuat Bank Muammalat Indonesia hampir
tidak bisa berbuat banyak, apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat
yang jauh dari kota-kota besar. Kenyataan tersebut barangkali menjadikan Bank
Muammalat Indonesia kemudian belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat
muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh kebijakan
pemerintah yang memihak kepada mereka. Secara yuridis, walaupun
pembicaraan-pembicaraan tentang bank berdasarkan prinsip syariah sudah lama ada
di Indonesia, akan tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang bergerak
dibidang berdasarkan prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya
Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.
Memang Undang-undang Perbankan Nomor
7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
seakan-akan memukul gong terhadap lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah
tersebut. Sebab menurut Pasal 6 huruf (m) juncto Pasal 13 huruf (c) dari
undang-undang tersebut dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk
melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik untuk
bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan pembiayaan bagi hasil
tersebut kemudian oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diperluas menjadi
kegiatan apapun dari bank berdasarkan prinsip syariat yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia (dalam undang-undang yang lama ditetapkan oleh peraturan pemerintah). 6
Dengan demikian, Pasal 6 huruf (m) dan Pasal
13 huruf (c) dari Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sekarang
merupakan dasar hukum yang utama bagi eksistensi bank berdasarkan prinsip
syariah. Dalam Pasal 6 huruf (m) tersebut berbunyi :
“Usaha bank meliputi:
menyediakan pembiayaan dan/ atau melakukan kegiatan lain berdasarkan
prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 13 huruf (c)
berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat
meliputi: menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip
syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Sebagai pengejawantahan dari dasar
hukum utama dari Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, oleh Pemerinah Republik
Indonesia telah dikeluarkan dasar hukum bagi bank berdasarkan prinsip syariah
dalam bentuk peraturan pemerintah, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Adapun yang menjadi dasar-dasar Bank
Bagi Hasil yang disebutkan dalam Peraturan Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992
tersebut adalah sebagai berikut:
- Kegiatan bank berdasarkan syariah dapat dilakukan
oleh Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat (Pasal 1 ayat(1))
- Jika Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sudah
melakukan kegiatan bank berdasarkan syariah, maka dia tidak boleh lagi
merangkap melakukan juga kegiatan-kegiatan lainnya (kegiatan konvensional)
(pasal ayat (1) juncto Pasal 6.
- Bank berdasarkan syariah melaksanakan kegiatannya
berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam (Pasal 2 ayat (1)) 4. Bagi hasil
bagi penyediaan dana kepada masyarakat termasuk juga kegiatan jualbeli
(Pasal 2 ayat (2)) 5. Bank berdasarkan syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas
Syariat.
7
Adapun tujuan pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi
masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.
- Menyediakan alternatif investasi, pembiayaan dan
jasa keuangan lainnya.
- Mengurangi resiko sistemik dari kegagalan sistem
keuangan di Indonesia.
- Mendorong peran perbankan secara optimal dalam
menggerakka sektor riil dan membatasi spekulasi atau pembiayaan yang tidak
produktif.
Dengan demikian dapat diketahui
bahwa bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia telah ada sebelum di
undangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hal ini dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian menjadi tonggak dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
C. Perbankan Syari’ah
Indonesia di tinjau dari filsafat hukum Islam
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perbankan konvensional
mengandung riba. Sementara hal tersebut dilarang oleh agama Islam. Bahkan
agama lain juga melarang riba.
Pendapat tentang bunga bank adalah
riba memang para ulama terjadi berbeda pendapat. Ada para ulama berpendapat
haram, ada juga berpendapat syubhat (samar) dan adanya juga mengganggap halal.
Namun demikian Allah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya :
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
“ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron : 130).
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat
ini berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hambanya-Nya kaum mu’minin dari
praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu orang-orang
jahiliyah bila piutang telah jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang,
“Engkau melunasi hutangmu atau membayar riba”. Bila ia tidak melunasinya, maka
pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah
pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang
sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali
lipat. 8
Dan pada ayat ini Allah ta’ala memerintahkan
hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di
akhirat”.
Riba menurut bahasa memiliki
beberapa pengertian, yaitu:
- Bertambah, karena salah satu perbuatan riba
adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
- Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan
riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan
orang lain.
- Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, riba
menurut Al Mali adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu
yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau
dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
Menurut Abdurrahma al-Jaiziri, yang
dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada
orang yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Ada 11 (sebelas) alasan
diharamkannya Riba, yaitu:
- Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh
makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan dari kuburannya, ia dibangkitkan
dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan bagaikan orang kesurupan
lagi gila. Ibnu Abbas berkata “Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya
dalam keadaan gila dan tercekik”.
- Penegasan bahwa riba diharamkan oleh Allah
Ta’ala, sehingga tidak termasuk ke dalam perniagaan yang nyata-nyata
dihalalkan.
- Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktek
riba setelah datang kepadanya penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa
riba diharamkan dalam syari’at Islam, akan dimasukkan ke neraka. Bahkan
bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi dinyatakan pada ayat diatas,
bahwa “ia kekal di dalamnya”.
9
Dalam banyak hadist, Rasulullah
nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba sebagai perbuatan dosa besar.
“Dari sahabat Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah bersabda, Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang akan
menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka) “, para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah dosa-dosa itu “. Beliau bersabda, “Mensekutukan Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan
peperangan dan menuduh wanita mu’min yang menjaga (kehormatannya) lagi baik
(bahwa ia telah zina. (Muttafaqun ‘alaih”).
Penegasan bahwa Allah akan
menghapuskan dan memusnahkan riba. Ibnu Katsir berkata “Allah Ta’ala
mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja memusnahkannya
secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari
keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan
kemampuan harta ribanya, bahkan Alllah akan membinasakannya dengan harta
tersebut dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan
menyiksakanya akibat harta tersebut”. Penafisran Ibnu Katsir ini semakna
dengan hadist berikut yang artinya:
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun
banyak jumlahnya pada akhirnya akan menjadi sedikit”. (HR. Imam Ahmad Ath-Thabrani,
Al-Hakim, dihasankan oleh Ibnu Hajar dan shahihkan (al-Albani)”.
Allah Ta’ala mensifati pemakan riba
sebagai “Orang yang senatiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat
dosa”. Ibnu Katsir berkata”Sesungguhnya pemakan riba tidak rela dengan pembagian
Allah untuknya, berupa rizki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syari’at
Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang
halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan
cara-cara yang bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian
sikapnya merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan dan amat zhalim
lagi berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain.
10
Allah Ta’ala memerintahkan kaum
muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan adalah menjalankan segala
perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal yang nyata-nyata
haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai subhat, Rasulullah memerintahkan
ummatnya untuk meninggalkannya.
Perintah tegas agar meninggalkan
riba. Dan dari perintah tegas semacam inilah disimpulkan wajibnya sesuatu.
Dengan demikian meninggalkan riba adalah wajib hukumnya. Bila suatu hal telah
diwajibkan untuk ditinggalkan maka tidak diragukan lagi akan diharamannya.
Allah menjadikan perbuatan
meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan seseorang, dengan demikian dapat
dipahami bahwa orang yang tetap memakan riba berarti imannya cacat dan tidak
sempurna.
Allah Ta’ala mengumandangkan
peperangan dengan orang-orang yang enggan meninggalkan riba. Allah berfirman:
“Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan
memerangimu (QS. Al-Baqarah: 279).
Allah Ta’ala mensifati orang yang
berhenti dari memungut riba dan hanya memungut modalnya (uang pokoknya) saja,
dengan firman-Nya, “Kamu tidak menganianya dan tidak pula dianiaya”.
Dari penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang
memungut riba berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya
karena ia telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak
dibenarkan dalam syari’at.
Allah Ta’ala menjadikan riba sebagai
lawan dari shadaqah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Allah Yang Maha Suci
telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir surat
Al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: Adil, Zhalim, dan keutamaan
berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan
menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka
dan Dia membolehkan jual beli serta hutang piutang hingga tempo yang telah
ditentukan.
11
Berdasarkan sebelas alasan di
atas, sangat jelas riba dilarang dan diharamkan dalam Islam, termasuk dalam
kegiatan bank konvensional yang menerapkan bunga. Sementara di Indonesia
mayoritas masyarakatnya beragama Islam, maka perlu ada suatu perbankan yang
kegiatannya tidak mengandung riba. Artinya perbankan yang dalam kegiatannya
menerapkan prinsip-prinsip Islam yaitu perbankan syari’ah, suatu
perbankan yang pelaksanaannya didasarkan pada hukum Islam yang bersumber dari
Al Qur’an dan Sunnah Rasul karena bagi umat Islam Al Qur’an dan Sunnah Rasul
adalah mutlak ditaati dan dipedomani dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
Al Quran Allah berfirman yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (Surat : An-Nisaa Ayat : 59).
Ayat yang disebutkan di atas,
menunjukkan bahwa sebagai umat Islam harus taat kepada Allah termasuk termasuk
hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya
sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT. Keimanan akan wujud
Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat dan iradat Allah. Aturan
Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari
iradat Allah dan karena itu, maka kepatuhan menjalankan aturan Allah yang
tertuang dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah, merupakan perwujudan dari iman
kepada Allah.
Menurut Mahmud Syaltout, Al Quran
dan Sunnah Rasul mengandung ajaran-ajaran tentang akidah dan Syari’ah.
Kemudian Syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.
Ajaran tentang akidah berkaitan
dengaan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang terhadap eksistensi Allah,
para Malaikat, Rasul, Kitab Suci yang diturunkan Allah, tentang hari Kiamat dan
lain sebagainya. Ajaran tenatang akidah ini bersifat permanen, pasti, dan tidak
berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial kultural manusia.
12
Sedangkan ajaran tentang muamalah
berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam
memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan
prinsip-prinsip
yang terkandung oleh Al Quran dan as Sunnah.
Itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai
Ketuhanan.
Kata muamalah berasal dari
bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah
(saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan
masing-masing. Dalam arti sempit muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib
ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan
cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Sedangkan dalam arti luas
muamalah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam
kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Namun demikian konteks muamalah
harus senantiasa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Artinya tidak boleh
lepas dari ketentuan yang telah Allah gariskan dalam Al Quran, as Sunnah Nabi,
ijtihad ulama atau sering disebut dengan hukum Islam sebagaimana Allah
berfirman dalam Surat az-Zariyat, 51 : 56 yang artinya berbunyi:
“Dan aku tidak menciptkan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu…”
Salah satu contoh kegiatan Muamalah
adalah Mudharabah (kerjasama bagi hasil). Konsep Mudharabah inilah yang
melahirkan Bank Syari’ah di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka
13 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tenang Perbankan, yaitu:
“Prinsip
syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegaiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan 13
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Kelahiran Bank Syari’ah (Bank Islam)
dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas seorang muslim harus didasarkan kepada
syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai hubungan antara manusia
dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia (muamalat).
Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau
lebih tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha.
Secara teknis mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara
proporsional dari jumlah modal, yaitu oleh pemilik modal. Kerugian yang timbul
disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola
bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Mudharabah adalah akad yang
dibolehkan dalam syariah Islam berdasarlan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ dan
para fuqaha.
Secara terminologi, para ulama fiqh
mendefinisikan mudharabah atau qiradh adalah pemilik modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan sedangkan
keuntungan itu menjadi milik bersama dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan, kerugian ini ditanggung sepenuhnya
oleh pemilik modal. Kerugian yang timbul disebabkan oleh kecurangan atau
kelalaian si pengelola maka si pengelola bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Kalimat “keuntungan menjadi milik bersama” menjelaskan
bahwa wakil bukanlah mudharib (pengelola mudharabah). Sebab keduanya
memperoleh keuntungan bersama adalah karena pemilik modal berhak memperoleh
keuntungan disebabkan modal yang ia berikan, karena keuntungan itu adalah hasil
dari pertumbuhan modalnya. Sementara mudharib (pengelola) juga berhak
memperoleh keuntungan disebabkan pekerjaannya yang menyebabkan adanya
keuntungan.
14
Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah
dan muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah seseorang yang memberikan
modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Dia berkata “Saya memberikan
modal ini kepadamu untuk dilakukan mudharabah dan keuntungannya untuk kita
bersama secara merata”, atau dibagi tiga (dua pertiga dan sepertiga), dan
sebagainya. Atau dapat pula seseorang yang memberikan modalnya secara akad
mudharabah tanpa menentukan pekerjaa, temapt, waktu, sifat pekerjaannya, dan
sipa yang boleh berinteraksi denagannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah yang
pemilik modal menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilikk modal memberikan
seribu dinar; misalnya, pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar
mengelolanya di negeri tertentu, atau barang tertentu, atau tidak menjual dan
membeli kecuali dari orang tertentu.
Akad mudharabah dibolehkan
dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan
seorang pakar dalam memutar uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak
pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar
di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar
saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk
saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang terampil dalam
mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Secara umum dasar hukum mudharabah
lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, sebagai berikut:
a. Menurut Al Qur’an :
1) Surat al-Muzzammil,
73 : 20 yang artinya: “…dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari
karunia Allah…
2) Surat Al-jumuah, 62 :
10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di
muka bumi dan carilah karunia Allah”.
3) Surat al-Baqarah, 2 :
198 berbunyi yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…”
Ayat-ayat
diatas, jelas menunjukkan secara umun mengandung kebolehan akad mudharabah,
yang secara kerjasama mencari rezki yang ditebarkan Allah di atas bumi. 15
b. Menurut Hadis
Diriwayatkan dari dari “Abbas ibn
“Abd al Muthalib yang artinya:
“Tuan kami ‘Abbas ibn ‘al
Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam
perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu
jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah dan
tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan.
Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi.
Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn Abd Muthalib ini sampai kepada
Rasulullah dan Rasul membolehkannya (HR. ath-Thabrani).
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga bentuk usaha yang mendapat
berkah dari Allah, yaitu: menjual dengan kredit, mudharabah, hasil keringat
sendiri” (HR. Ibn Majah)..
Di samping itu, para ulama juga
beralasan dengan praktik mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sementara
sahabat lain tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah
itu di zaman mereka kebannyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu,
berdasarkan ayat, hadist, dan praktek para sahabat itu, para ulama fiqh
menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya,
maka hukumnya adalah boleh.
Rukun mudharabah adalah
pemodal, pengelola, modal, nisbah keuntungan dan sighat atau akad. Sedangkan
imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada
lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku
transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali
kepada tiga rukun diatas.
16
Adapun syarat-syarat mudharabah
adalah:
- Yang terkait dengan orang yang melakukan
transaksi haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat
sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola
modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat-syarat
seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
- Yang terkait dengan modal disyaratkan : (a)
berbentuk uang, (b) jelas jumlahnya, (c) tunai dan (d) diserahkan
sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal
tersebut berbentuk barang, menurut para ulama fiqh tidak dibolehkan,
karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan
utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu
berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan
modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh
pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama
Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan
tetapi ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di
tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usaha itu.
- Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa
pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambilkan dari
keuntungan dagang itu seperti setengah, sepertiga, atau seperempat.
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akan
itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik modal
mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah,
syarat seperti ini batal dan kerugian tetap ditanggung sendiri oleh
pemilik modal.
Dengan demikian kaitan antara Islam
dan perbankan menjadi perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan hukum Islam.
17
Dimana usaha ini didasari oleh
larangan Islam untuk memungut maupun meminjami dengan perhitungan bunga (riba)
dan larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan
barang yang tidak Islami (haram).
Untuk itu, adanya perkembangan
perbankan syari’ah menjadi fenomena baru dalam sistem perbakan nasional.
Munculnya para pemain baru (new comers) mengindikasikan bank syari’ah
mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Hingga kini tercatat
tiga Bank Umum Syari’ah (BUS) dan 19 Unit Uaha Syari’ah (UUS) dengan jaringan
522 Kantor Cabang (KC), termasuk kantor kas dan 156 unit Bank Perkreditan
Rakyat Syari’ah.
Akan tetapi perkembangan perbankan
syari’ah secara institusi tidak dibarengi tingginya sikap masyarakat yang
secara masif menyimpan dananya di bank syari’ah. Tahun 2008, bank Indonesia
menetapkan target pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia pada kisaran 5,2
%, tetapi sampai sekarang, baru menyentuh level 3 % dengan jumlah asset ± 72
triliun. Jumlah aset perbankan syari’ah saat ini belum optimal mengingat pangsa
pasar syari’ah di Indonesia sangat luas.
Berdasarkan hal di atas, sangat
jelas bahwa konsep muamalah sebagai filosofis lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank
Islam), karena dalam Islam, selain ada ajaran akidah ada juga ajaran syari’ah.
Sedangkan ajaran syari’ah terdiri dari ibadah dan muamalah. Ajaran muamalah
dapat berupa hubungan-hubungan manusia dengan manusia yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang keuangan dan perbankan yang
merupakan bagian dari kegiatan perekonomian dan karena pada dan zaman
modern ini, kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga
perbankan, lembaga perbankan inipun wajib diadakan.
18
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Perbankan syari’ah atau perbankan Islam
adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya
larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).
- Lahirnya Perbankan di Indonesia diawali tahun
1970-an. Dimana pembicaraan bank syariah muncul pada seminar hubungan
Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang
diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan
Bhineka Tunggal Ika. Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu muncul
lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober
(Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Selanjutnya pada
tahun 1990an dibentuklah Kelompok Kerja MUI dan sebagai hasil kerja Tim
Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia,
pada tanggal 1 November 1991 sebagai Bank Syari’ah pertama di Indonesia.
- Perbankan Syari’ah Indonesia ditinjau dari
Filsafat Hukum Islam merupakan konsep filosofis dari Muamalah
Mudharabah yaitu suatu konsep kegiatan perbankan dengan sistem bagi
hasil dan berlandaskan hukum Islam dan tidak mengandung riba sebagaimana
sebelumnya ada pada Bank Konvensional.
B. Saran
- Perbankan syari’ah yang ada di Indonesia dalam pelaksanaannya harus
benar-benar berdasarkan hukum Islam (syariah). Jadi jangan sebagai kedok untuk menarik minat umat Islam untuk
menabung di perbankan atau sekedar orientasi bisnis semata.
- Lahirnya Perbankan di Indonesia dengan tujuan untuk kepentingan
mengakomodir umat Islam harus didukung dan dipertahankan. Namun dalam
pelaksanannya harus diawasi dengan ketat oleh Dewan Pengawas Syari’ah.
Sehingga kelahiran perbankan syari’ah tersebut sesuai dengan tujuannya. 19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat, Fiqih Muamalah, Jakarta, 2012
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan,
Sinargrafika, Jakarta, 2010,
Fathurrahman Djamil, Penerapam Hukum Perjanjian
dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah, Sinargrafika, Jakarta, 2010
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Rajagrafindo,
Jakarta, 2010
Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syari’ah, Pustaka
Setia, Bandung, 2012
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media
Pratama, Jakarta, 2000
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam
di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
Short Course Bank Syariah, Regulasi Bank Indonesia
Terhadap Pengembangan Bank Syariah di Indonesia, Sharia Banking Training
Center Yogyakarta, 18 Mei 2008
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid
5, Gema Insani, Jakarta, 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
20
0 komentar:
Posting Komentar